Selama ini banyak kalangan menilai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tidak lagi bebas, melainkan lebih condong ke AS. Namun, awal September 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalin kerjasama dengan Rusia. Terlepas dari hal tersebut, ada paradigma yang dijalankan oleh pemerintah saat ini yang perlu dikritisi.
Pada awal September 2007, Jurubicara Kepresidenan Dino Patti Jalal mengatakan: “Presiden selalu mengatakan ekuilibrium, tapi ada istilah lain yang digunakan presiden, all direction forum policy. Berarti semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership“. Inilah sebenarnya paradigma yang sedang dianut. Melalui paradigma ini wajar belaka apapun dilabrak, yang penting semua pihak ditemani asalkan ada manfaatnya. Manfaat seperti apa, tentu manfaat menurut kepentingan penguasa.
Berdasarkan hal ini wajar muncul sikap dan kebijakan yang ditempuh tanpa lagi mempertimbangkan ’rasa keadilan’ rakyat, khususnya umat Islam. Diantaranya adalah membiarkan Yahudi Israel yang tengah menjajah Muslim Palestina melakukan aktivitasnya di Indonesia. Bahkan, jalinan kerjasama telah terjalin. Diantaranya:
- American Jewish World Service (AJWS), organisasi Yahudi Amerika ini bergerak di Aceh. Menurut Elizabeth A Toder, Senior Program Officer AJWS di Foreign Press Center New York, misi organisasi ini adalah ikut menyembuhkan dunia. Caranya, bekerja sama dengan mitra lokal untuk mengembangkan masyarakat pedesaan. AJWS pernah mendanai Kontras, dan menyokong bantuan Solidaritas Perempuan (Kompas, 19/11/2005). Seperti diketahui, Solidaritas Perempuan merupakan penolak RUU Antipornografi-pornoaksi yang hingga kini tidak jelas juntrungannya.
- Pemerintah dan DPR ‘merestui’ rencana kedatangan delegasi parlemen Israel dalam sidang organisasi parlemen sedunia (Inter Parliamentary Union/IPU) di Bali pada 29 April hingga 4 Mei 2007 lalu. Namun, atas desakan berbagai komponen Islam, anggota parlemen Indonesia yang tergabung dalam Kaukus Parlemen Indonesia untuk Palestina menolak kedatangan mereka (Antara News, 18/4/07).
- Utusan Israel telah menyampaikan ketertarikannya untuk memasuki bisnis kilang minyak dan bahan bakar nabati di Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada akhir Agustus lalu (Republika, 7/9/2007). Rencana investasi oleh Merhavv Group dari Israel senilai 700 juta dolar AS atau sekitar Rp6 triliun. Sebelumnya (5/9/2007), Menteri Perindustrian (Menperin) Fahmi Idris tidak keberatan dengan rencana Israel untuk masuk ke bisnis kilang dan bahan bakar nabati di Indonesia. Menurutnya hubungan dagang dengan Israel berbeda dengan hubungan diplomatik.
- Pemerintah SBY membiarkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf melakukan kunjungan kerja langsung ke AS. Tujuannya, mendapatkan dukungan internasional dan Pemerintah AS untuk membantu kelanjutan proses rehab rekons di Aceh setelah masa tugas BRR di Aceh berakhir pada pertengahan 2009 mendatang. Jelas, ini sikap menjadikan AS yang sedang menjajah beberapa negeri Muslim dijadikan wali (pendukung/penolong). Padahal, Allah melarangnya. Selain itu, hasilnya seperti kata Irwandi (12/9/2007) adalah: (1) spekulan pasar uang dunia, George Soros yang juga penyokong Israel, berencana akan menanamkan investasi dalam bidang perkebunan kelapa sawit seluas 20.000 hektar di Aceh. Serambi Makkah siap dimasuki Soros; (2) Maryland Port Administartion – perusahaan pelabuhan di Baltimore, Maryland – siap mengajak Aceh membuat pelabuhan kembar. Pelabuhan Maryland merupakan salah satu yang modern di dunia. Kalau ini terjadi, berarti Selat Malaka dapat dikontrol oleh AS. Namun, arah yang dikehendaki negara besar itu adalah jauhnya masyarakat Indonesia termasuk Aceh dari Syariat Islam. Ingat, Ketua Badan pelaksana (Bapel) BRR NAD-Nias, Kuntoro Mangkusubroto pernah menyatakan bahwa Syariat Islam sebagai penghambat proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh pascabencana tsunami (21/9/2007).
Sikap demikian, jelas bertentangan dengan pandangan politik luar negeri menurut syariat Islam. Faktanya Israel masih terus menjajah dan memerangi umat Islam di Palestina, dan karenanya menurut hukum Islam Israel merupakan kafir harbi fi’lan, yaitu kelompok kafir yang secara nyata memerangi umat Islam. Israel harus didudukkan sebagai musuh umat Islam seluruh dunia, dan sebagai musuh tentu tidak layak untuk diterima begitu saja di sebuah negeri Muslim seperti Indonesia. Seharusnya para pemimpin di negeri-negeri Muslim menyerukan pengusiran Israel dari bumi Palestina, sebagaimana halnya kita mengusir Belanda dari bumi Indonesia, dan tidak menjalin hubungan apapun (termasuk dagang dan investasi).
Kita merindukan sosok pemimpin seperti Khalifah Sultan Abdul Hamid II yang secara tegas dan berwibawa ketika menolak upaya Theodore Hertzel, pemimpin Zionis Yahudi, untuk mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Sementara pemimpin di negeri-negeri Muslim saat ini tidak ada yang berani melawan Israel, meski hanya dengan kata-kata sekalipun. Bahkan yang lebih parah dari itu, mereka justeri bermanis muka dengan sang penjajah hanya karena kepentingan investasi. Inilah akibat kekeliruan paradigma hubungan luar negeri, ”semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership”. Akibatnya, musuh dan penjajah pun dijadikan teman.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al Maidah: 51).