Dalam “Resonansi”-nya di Harian Republika (8/11), Azyumardi Azra menulis tentang perlunya Trialog Peradaban. Lebih dari sekadar Trialog Peradaban, di akhir tulisannya, Azyumardi memandang pentingnya penciptaan dan penguatan kembali narasi baru tentang “aliansi peradaban” di antara “Anak-anak Ibrahim”. Kenyataan ini karena, menurutnya, kemajuan peradababan sekarang ini bukan hanya bersumber dari “Judeo-Cristian Civilization“, tetapi juga melibatkan konstribusi peradaban Islam. Karena itulah, mengutip Richard Bulliet (2004), ia memandang perlu dibangunnya apa yang disebut sebagai peradaban ‘Islamo-Judeo-Christian Civilization” (Peradaban Islam-Yahudi-Kristen).
Gagasan Trialog Paradaban ini mengemuka kembali dalam Konferensi bertajuk, “Children of Abraham: A Trialogue of Civilization” yang diselenggarakan Harvard University pada 21-24 Oktober 2007, dengan Azyumardi Azra sebagai salah satu pembicaranya, yang merupakan satu-satunya wakil dari Asia. Istilah trialog peradaban ini antara lain pernah diperkenalkan pada tahun 1980-an oleh Prof. Ismail al-Faruqi, intelektual Palestina, yang merupakan guru besar Temple University, Philadelphia. Al-Faruqi bahkan kemudian menulis buku dengan judul, Trialogue of Abrahamic Faith (Trialog Millah Ibrahim). Penulisan buku ini dilatarbelakangi oleh pandangannya bahwa pembicaraan segitiga di antara para pengikut agama Ibrahim (Islam-Yahudi-Kristen) sangat esensial bagi terciptanya perdamaian di kawasan konflik Palestina-Israel, juga di muka bumi secara keseluruhan. Hal ini menurutnya mudah dipahami karena konflik Palestina-Israel—yang selalu menimbulkan gejolak di Timur Tengah dan berdampak ke tempat lain—melibatkan ketiga pemeluk agama: Islam-Yahudi-Kristen. Di sinilah pentinggnya Trialog itu, tegasnya.
Trialog Peradaban dan Millah Ibrahim
Gagasan Trialog Peradaban tentu tidak terlepas dari pemahaman yang keliru mengenai apa yang disebut dalam al-Quran sebagai “Millah Ibrahim” (Agama Ibrahim). Al-Quran memang menyebut istilah ini paling tidak di 8 tempat (QS al-Baqarah [2]: 30 dan 135; Ali Imran [3]: 95; an-Nisa’ [4]: 125; al-An’am [6]: 161; Yusuf [12]: 38; an-Nahl [6]: 123, al-Hajj [22]: 78). Ibrahim juga memang melahirkan sejumlah keturunan yang kebetulan juga menjadi nabi (seperti Ismail dan Ishaq dan keturunannya) sehingga ia sering disebut Abu al-Anbiya’ (Bapak Para Nabi). Selain itu, agama Islam, Yahudi dan Kristen juga sering dianggap berakar pada ajaran yang sama, yakni monoteisme (tauhid), yang tidak lain bersumber dari ajaran yang dibawa Nabi Ibrahim (Millah Ibrahim). Karena itu, Ibrahim pun sering disebut sebagai “Bapak Monoteisme”. Karena itu pula, secara sederhana kemudian disimpulkan bahwa Islam, Yahudi dan Kristen adalah “bersaudara”. Ketiganya, sebagaimana kata Azyumardi, ibarat “kakak-adik” yang memiliki banyak kesamaan, juga berbagi sejarah yang sama. Inilah kira-kira yang mendasari diusungnya wacana mengenai pentingnya “trialog” sesama saudara; bukan hanya dalam tataran transenden (keyakinan/spiritualitas), tetapi bahkan dalam tingkat peradaban. Dengan itu diharapkan, tidak akan lagi terjadi konflik antar ketiga pemeluk agama besar tersebut.
Millah Ibrahim: Meluruskan Pemahaman
Allah SWT berfirman:
﴿هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ هُوَ سَمَّاكُمْ المُسْلِمِيْنَ مِنْ قَبْلُ﴾
Dia telah memilih kamu (untuk mengemban urusan agama-Nya) dan Dia tidak akan menjadikan kesulitan dalam urusan agama ini pada kalian; (maka, ikutilah) agama bapak kalian, Ibrahim. Dia telah menamai kalian sebelumnya dengan nama Muslim. (QS al-Hajj [22]: 78).
Dalam ayat di atas, kata millah secara umum berarti dîn dan syarî‘ah, meski dalam konteks ayat ini berarti ashl[a] at-tawhîd (pangkal tauhid), seperti keyakinan akan keesaan Allah. Karena itu, konotasi frasa ini adalah: Ikutilah agama tauhid bapakmu, Ibrahim, bahwa tiada yang berhak disembah melainkan Allah. Menurut Ibn Manzhur juga demikian. Namun, pengertian tersebut kemudian di-takhshîsh secara terpisah (munfashil) dengan nash al-Quran yang muhkam:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ
Kami telah menurunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) serta menindihnya. Karena itu, putuskanlah perkara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kalian Kami memberikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu agama (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian. (QS al-Ma’idah [5]: 48).
Ini adalah ayat muhkam yang menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya kitab suci al-Quran yang berfungsi sebagai standar untuk mengukur benar-salahnya ajaran sebelumnya, sekaligus sebagai penghapus ajaran-ajaran tersebut. Masing-masing telah diberi syariah dan tuntunan yang berbeda oleh Allah. Seandainya Allah mau, tentu Dia hanya akan menjadikan untuk seluruh nabi dan umat manusia satu agama saja. Namun, justru dengan perbedaan agama tersebut, Allah hendak menguji khususnya kepada Nabi Muhammad dan umatnya, mengenai sejauh mana keterikatan mereka pada ajaran yang diturunkan kepada mereka.
Dari sini, bisa disimpulkan, bahwa konotasi millah Ibrâhîm tersebut memang bisa meliputi konteks agama secara umum, yang meliputi akidah dan syariah. Hanya saja, setelah di-takhshîsh dengan surah al-Maidah ayat 48 ini, maka keumuman konteksnya telah dibatasi hanya pada aspek akidah, sehingga bisa disimpulkan, bahwa perintah mengikuti millah Ibrâhîm adalah perintah mengikuti prinsip-prinsip akidahnya, sementara terhadap syariahnya tidak.
Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul dan umatnya itu berbeda-beda; masing-masing mempunyai syariah yang berbeda dengan yang lain, sebagaimana yang dinyatakan dalam surah al-Maidah ayat 48, meski prinsip-prinsip akidahnya sama, yaitu tawhîd.
Trialog Peradaban: Out of Contex
Memang benar, dunia saat ini sarat dengan konflik. Namun, tidak benar jika konflik-konflik yang terjadi saat ini dipicu oleh faktor agama, atau melibatkan tiga pemeluk agama: Islam, Yahudi dan Kristen. Artinya, yang terjadi sesungguhnya bukanlah konflik yang berlatar belakang teologis, namun lebih bersifat ideologis dan politis.
Konflik Palestina-Israel lebih dari setengah abad, misalnya, jelas bukan konflik tiga agama: Islam, Yahudi dan Kristen. Sebab, toh dalam rentang sejarah yang sangat panjang selama berabad-abad ketiga pemeluk agama ini pernah hidup berdampingan secara damai dalam naungan sistem Islam. Memang, sejarah pernah mencatat konflik Islam-Kristen yang berkepanjangan yang meletuskan beberapa kali Perang Salib. Namun, Perang Salib sesungguhnya lebih bersifat politis ketimbang berlatar-belakang teologis. Demikian pula dengan konflik Palestina-Israel. Konflik ini lebih bernuansa politis yang melibatkan imperialis Barat. Sejarah membuktikan, bahwa konflik Palestina-Israel bermula ketika bangsa Yahudi (Israel) sengaja “ditanam” oleh penjajah Inggris di jantung Palestina dalam ranga melemahkan umat Islam. Konflik ini kemudian dipelihara oleh Amerika Serikat yang menggantikan peran Inggris, untuk semakin melemahkan kekuatan umat Islam, khususnya di Timur Tengah. Pasalnya, dengan begitu Barat dapat terus-menerus menyibukkan umat Islam dengan konflik tersebut sehingga umat Islam melupakan bahaya hegemoni Barat—khususnya AS dan Inggris—sebagai penjajah mereka.
Dalam sekala lokal, konflik yang pernah terjadi di Maluku atau Poso, misalnya, juga lebih bernuansa politik, yakni adanya campur tangan asing (yang tidak lain kaum imperialis Barat) untuk melemahkan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, ketimbang berlatar belakang agama.
Sementara itu, dalam sekala yang lebih luas dan global, konflik Barat-Timur (yang sering dianggap mencerminkan konflik Kristen-Islam), khususnya setelah Peristiwa 11 September 2001, jelas juga lebih berlatarbelakang ideologi dan politik ketimbang agama. Memang, sesaat setelah terjadinya Peristiwa 11 September, Presiden AS George W Bush pernah “khilaf” dengan menyebut secara jelas bahwa WoT (War on Terrorism) sebagai Crussade (Perang Salib) baru. Lalu setelah itu AS menyerang Afganistan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyerang Irak. Namun, banyak pakar Barat dan AS sendiri yang menjelaskan bahwa serangan militer AS ke Afganistan maupun Irak bahkan lebih bermotifkan ekonomi (yakni demi minyak)—di samping politik (demi hegemoni ideologi Kapitalisme), dan bukan bermotifkan agama.
Karena itu, sangat tidak relevan dan out of contex (di luar konteks) jika untuk menghentikan konflik-konflik tersebut dan sekaligus menciptakan perdamaian dunia digagas Trialog Peradaban (Islam-Yahudi-Kristen). Pasalnya, akar konflik-konflik tersebut, sekali lagi, lebih bermotifkan ideologi dan politik—yakni hegemoni Kapitalisme yang diusung Barat, khususnya AS, atas Dunia Islam—ketimbang berlatar-belakang agama.
Aliansi Global Menentang Hegemoni Kapitalisme Global
Jelas, yang dibutuhkan saat ini bukanlah Trialog Peradaban apalagi Aliansi Peradaban antara Islam-Yahudi-Kristen. Sebab, Islam sangat berbeda dengan Kristen maupun Yahudi. Allah SWT sendiri secara tersirat telah memandang Yahudi dan Nasrani sebagai agama kaum musyrik, sebagaimana firman-Nya:
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Mereka berkata, “Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk.” Katakanlah, “Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Tidaklah Ibrahim itu termasuk golongan kaum musyrik.” (QS al-Baqarah [2]: 135).
Karena itu, kalaupun kita berbicara dalam konteks agama, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya adalah menyeru para pemeluk Kristen dan Yahudi untuk memeluk Islam, dan bukan trialog untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya, mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5: 73-77; QS 19: 88-92; QS 112: 1-4) disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan?! Allah SWT mengajari kita melalui firman-Nya:
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah, “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah. Karena itu, ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. (QS Ali Imran [3]: 95).
Adapun dalam konteks peradaban, Islam—sebagai agama sekaligus ideologi—jelas pemilik salah satu peradaban: peradaban Islam. Sebaliknya, Kristen dan Yahudi—karena wataknya sekadar sebagai agama an sich (”agama murni”)—tidak melahirkan peradaban apapun. Peradaban Barat saat ini jelas bukan peradaban yang diilhami oleh teologi Kristen maupun Yahudi, tetapi murni lahir dari rahim ideologi Kapitalisme. Dengan kata lain, Peradaban Barat adalah peradaban kapitalis dan tidak bisa disebut sebagai Peradaban Kristen atau Yahudi. Karena itu, kalaupun ada wacana tentang dialog antarperadaban, yang paling relevan adalah dialog antara peradaban Islam dan Kapitalisme. Namun, mungkinkah itu dilakukan? Jelas tidak mungkin. Ini karena watak masing-masing ideologi yang bersifat defensif sekaligus ofensif satu sama lain. Intinya, mustahil ada dialog antara Islam dan Barat atau antara Islam dan Kapitalisme yang saling menegasikan satu sama lain. Yang mungkin justru benturan peradaban, sebagaimana yang diakui oleh salah seorang cendekiawan Barat sendiri, Samuel Huntington.
Walhasil, saat ini yang dibutuhkan bukanlah Trialog Peradaban Islam-Yahudi-Kristen, namun aliansi global—tidak hanya pemeluk ketiga agama ini—untuk menentang hegemoni Kapitalisme, yang terbukti telah menimbulkan banyak krisis kemanusiaan, yang tidak hanya dialami oleh umat Islam, juga oleh umat manusia secara keseluruhan. Bukankah korban konflik Palestina-Israel tidak hanya umat Islam?! Bukankah korban perang Barat (AS dan Sekutunya) terhadap Afganistan maupun Irak tidak hanya umat Islam?! Bukankah korban konflik di Maluku maupun Poso tidak hanya umat Islam?! Bukankah korban dari krisis ekonomi kapitalis tidak hanya umat Islam?! Bukankah korban dari kejahatan ideologi Kapitalisme global tidak hanya umat Islam….?! Khilafah Islamiyyah itulah aliansi global bagi ummat Islam yang bermanfaat juga bagi non Islam.
Wallahu a’lam bi ash-shawab. []