Demokrasi Über Alles
Oleh Wiyanto Suud *
Demokrasi menjadi kata dan wacana begitu populer saat ini, bahkan hampir setiap ide, pemikiran, langkah perjuangan, kebijakan, sampai dengan standar kehidupan menisbatkan diri pada demokrasi. Bisa jadi peradaban dunia (world civilization) ini adalah peradaban demokrasi, berdasarkan sejarah perkembangan evolusi ilusifnya (illusive evolution). Karena demokrasi eksis sejak jaman Yunani kuno, di saat dunia mulai menyejarah dan mengenal peradaban. Jatuh bangun dan tumbuh kembangnya demokrasi tidak bermakna hilangnya demokrasi secara substansial di tengah masyarakat. Tesis Huntington membuat periodisasi gelombang pertumbuhan demokrasi dalam bukunya Third Wave democratization, menjadi kurang relevan karena peradaban dunia silih berganti, hegemoni menjadi siklus, dan sejarah berputar, demokrasi secara substansial pun tetap eksis.
Kejayaan demokrasi (baca eforia) dimulai di saat modernisasi menjadi arus utama (mainstream) perkembangan peradaban dunia menuju era posmodernisme, poskolonialisme, dan posbelief. Dunia menjadi tak terprediksi (unpredicted) dan sampai taraf kehilangan kendali (runaway world). Demokrasi menemukan momen untuk mendefinisikan diri dan mengambil posisi menancapkan superioritasnya, menjadi harapan di tengah ketidakpastian, dan ratu adil atau mesiah bagi umat manusia.
Demokrasi hampir tidak menyisakan ruang untuk sesuatu di luar dirinya, karena demokrasi merangkul semua ideologi, hadir dalam semua aspek, memberi kesempatan yang sama (equality), terbuka bagi siapa (egality), dan kebebasan menjadi dewa (liberty). Jadi tak ada sesuatu yang tak terdedinisikan oleh demokrasi. Karena kebebasan adalah ekspresi diri dan cermin kepribadian (personality), keterbukaan adalah kehidupan antar personal (zoon politicon), dan kesetaraan adalah prinsip dasar mekanisme hidup dan kehidupan (rule of games), sehingga demokrasi adalah kehidupan itu sendiri.
Kemudian di antara kita ada yang menggugat bahwa demokrasi tidaklah seekstrem itu, demokrasi berorientasi pada keadilan, kesejahteraan, kebaikan, kebenaran dan seterusnya. Kalaupun tidak sampai pada tujuan tersebut, setidaknya demokrasi sudah memberi kesempatan seluas-luasnya untuk itu (chance/opportunity). Tujuan tidaklah begitu penting, yang lebih penting adalah proses, bukankah Tuhan memang melihat proses bukannya hasil. Kekeliruan dalam mewujudkan mekanisme yang lebih kongkrit di lapangan merupakan realitas yang termaafkan karena keterbatasan kemampuan manusia dan dianggap bagian dari proses. Mekanisme koreksi dan kontrol (check and balance) menjadi niscaya, prinsip dasar terbuka (open ended), dan proses yang tiada akhir (ongoing process). Hal yang demikian pun sah dan absah menurut demokrasi.
Masih hangat di telinga kita, ungkapan Wakil Presiden Yusuf Kalla beberapa waktu yang lalu bahwa demokrasi bisa dinomorduakan di saat kesejahteraan rakyat bisa terwujud, meskipun banyak menui kritik dan kontroversial. Statement tersebut dianggap berpotensi mengebiri atau bahkan membunuh demokrasi. Tanpa berpretensi membela pernyataan Wakil Presiden, sedemikian sakral demokrasi (baca proses demokrasi), sehingga keadilan, kesejahteraan, dan kebenaran yang sudah nampak di depan mata, diotak atik untuk menemukan cela dan cacat, kemudian ditinjau kembali dan tujuan tersebut menjadi semakin jauh untuk diraih. Tujuan menjadi komuditas untuk diperbincangkan bukan untuk direalisasikan. Hal yang sedemikian pun halal bagi demokrasi.
Pergantian kepemimpinan haruslah konstitusional, tapi pada kenyataanya revolusi selalu inkonstitusional dan ekstra parlementer, justru ia menjadi sumber inspirasi untuk merancang konstitusi baru. Revolusi pun bisa dirumuskan epistemologi dan metodologinya. Inkonstitusional di era lama dan konstitusional di era baru. Waktu bukanlah menjadi masalah bagi demokrasi untuk hidup, karena masa jeda dianggap sebagai masa transisi menuju konsolidasi demokrasi. Kalau memang hal ini terus berlaku dan berulang, berarti dunia terjebak ke dalam siklus otoritarianisme (authoritarianisme circles) yang tak terelakkan. Realitas ini pun menurut para ilmuan dianggap sebagai langkah-langkah (steps) menuju demokrasi.
Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), atau vox populi, vox argentum (suara rakyat, suara gemrincing uang). Suara adalah representasi atas nasib dan masa depan. Sehingga kemudian diciptakan mekanisme perhitungan suara (pass the post, the winner take all dll). Obstain tidak dianggap sebagai suara, sedangkan golput adalah masyarakat di luar sistem, sehingga dalam sebuah negara yang menganut sistem multipartai mustahil untuk memperoleh suara mayoritas secara hakiki, tapi hanya mayoritas di antara minoritas (mayoritas secara maknawi). Di samping itu, representasi kesetaraan suara (equality) pun cenderung mengarah pada persamaan kualitas suara. Kualitas suara seorang profesor bisa disamakan dengan kualitas suara bapak tukang becak yang bisa jadi secara akademis dan kemampuan analisis sangat jauh berbeda. Tingkat kecerdasan mayoritas masyarakat menjadi hal yang penting bagi proses demokrasi, karena jika tidak, maka masyarakat mudah untuk diprovokasi kemudian dihasut tanpa mengetahui kepentingan di balik satu kebijakan (mobokrasi). Hanya dengan tingkat kecerdasan yang rata-rata saja demokrasi bisa diterapkan dengan sempurna. Belum lagi pembiayaan untuk perhelatan pemilihan umum sebagai pestanya demokrasi --sekaligus untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa-- tidaklah sedikit. Kalau memang demikian demokrasi menjadi sesuatu yang mahal untuk dibayar, baik secara material, mental, maupun spiritual.
Alih-alih proses pencerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengajarkan melek politik, memberi perlindungan bagi wong cilik, menciptakan regulasi yang fair, dan atas segalanya, justru demokrasi menjadi dualis, di mana kejahatan dan tujuan suci menyatu, kemudian menjadi monolis (dua dalam satu) yaitu demokrasi itu sendiri. Pertanyaannya, bisa nggak kita melakukan satu tindakan tanpa harus menggunakan embel-embel demokrasi. Bukankah untuk suatu tujuan mulia prasyarat harusnya bukanlah belenggu, syarat bukan menjadi sekat, tetapi bagi orang yang ikhlas dan tulus kadang justru diperalat dengan keserbaapaadaannya, sehingga ikhlas dan tulus saja tidak cukup untuk memperbaiki bangsa ini.
Jadi demokrasi tidak (baca mustahil) menemukan apa yang dicari atau kalaupun ada yang ditemukan, tak memuaskan tujuan yang sesungguhnya, sehingga demokrasi menjadi sakral di atas segalanya (demokrasi Über Alles), tak tersentuh (untouchable), dan tidak memberikan solusi yang efektif. (*Wiyanto Suud, Gema Pembebasan Jember)