PETA Jember Raya

Wednesday, April 16, 2008

Tanggapan Atas Keraguan

Solusi Islami: Khilafah Atau Syariah?
Situasi dunia secara keseluruhan saat ini tidak bisa dipungkiri berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Umat manusia secara keseluruhan berada dalam fase sejarah kelam peradaban dalam bentuk kemerosotan moral yang melanda segenap aspek kehidupan: politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dsb. Dalam hal ini saya kira semua orang sepakat bahwa biang dari segala permasalahan tidak lain adalah KAPITALISME. Tidak hanya umat islam saja yang meyakini kapitalisme sebagai akar permasalahan yang melanda segenap umat manusia, di negara-negara Barat-pun banyak para pakar yang menempatkan kapitalisme sebagai tertuduh utama.
Berangkat dari asumsi dasar bahwa kapitalisme-lah yang menjadi “kanker ganas” bagi tubuh peradaban umat manusia, maka banyak para intelektual yang mulai berpikir kritis mengenai upaya penyelamatan peradaban manusia dari jurang keterpurukan yang semakin dalam. Ada yang mengatakan bahwa kapitalisme adalah buah dari liberalisme, dan liberalisme sendiri berakar kuat pada sekularisme. Dalam pembahasan ini sekularisme cukup diberi penafsiran yang sederhana saja, yaitu pemisahan nilai-nilai agama dari kehidupan sehari-hari. Agama ditempatkan terbatas di ruang privat, dan samasekali tidak diperbolehkan untuk eksis di ruang publik, begitulah kira-kira penafsiran sederhana terhadap sekularisme.
Banyak kalangan intelektual di Barat saat ini yang mulai melihat ekses negatif yang ditimbulkan oleh pemisahan urusan publik, termasuk di dalamnya urusan pemerintahan, dari jangkauan nilai-nilai agama. Namun di sisi lain, mereka juga menemui kenyataan dalam sejarah bahwa ketika Agama mereka (Kristen) diberi kekuasaan mengelola urusan publik timbul permasalahan di dalam pelaksanaannya. Sejarah Eropa di Abad Pertengahan di penuhi penyimpangan kekuasaan oleh kalangan pemimpin gereja. Gereja berubah menjadi lembaga Teokrasi yang bersifat tiranis terhadap umatnya. Situasi paradoksal ini menurut beberapa analis muslim disebabkan oleh ketiadaan konsep pemerintahan di dalam Bibel, sehingga ketika agama dilembagakan dalam pemerintahan, pemegang kekuasaan tidak memiliki “petunjuk” untuk memanajemen pemerintahan dengan baik. Pada gilirannya situasi ini akan mendorong penguasa (kaum gereja) untuk memerintah secara menindas. Berangkat dari dua kenyataan yang saling bertentangan tersebut, para intelektual Barat akhirnya lebih menekankan peran agama sebagai acuan moral semata. Singkatnya, moralitas agama yang bersifat universal sudah semestinya dijadikan acuan utama dalam menjalankan urusan publik. Asumsi dasarnya adalah karena agama mengajarkan kebaikan dan kemuliaan kepada umat manusia.
Berbeda dengan Nasrani, Islam memiliki konsep yang jelas mengenai urusan publik. Dalam Islam terdapat ajaran muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alam. Dalam sejarah peradaban Islam, nilai-nilai Islam juga pernah diterapkan di dalam masyarakat secara menyeluruh dan mencakup segala aspek kehidupan. Rasulullah SAW selain pemimpin agama juga seorang kepala negara. Di masa Rasulullah, Islam berkembang pesat dan dalam waktu yang relatif singkat sudah menyebar hingga meliputi seluruh jazirah/semenanjung Arabia. Dalam periode ini umat Islam berada dalam persatuan yang solid dan padu. Namun dengan meninggalnya Rasul, mulai muncul perselisihan di antara umat mengenai siapa yang akan menggantikannya sebagai kepala negara. Dalam musyawarah beberapa orang sahabat terdekat Rasul, akhirnya disepakati bahwa Abu Bakar yang diangkat sebagai Khalifah untuk memimpin negara. Alasannya: Abu Bakar adalah sahabat terdekat Rasul, dan ketika Rasul berhalangan hadir di masjid karena sakit keras, Abu Bakar-lah yang Beliau tunjuk menggantikan posisinya sebagai imam shalat berjamaah. Jadi atas dasar itu, para sahabat sepakat bahwa Abu Bakar adalah figur terbaik di kalangan umat—sebagaimana persyaratan utama untuk menduduki posisi Khalifah. Namun dibalik kesepakatan itu, ternyata ada segolongan umat yang tidak bisa menerima keputusan itu. Mereka menganggap bahwa hak politik untuk mengisi jabatan kepala negara ada pada Ali Bin Abi Thalib. Alasannya adalah karena Ali merupakan kemenakan dan sekaligus menantu Rasul. Ali sendiri dengan ikhlas menerima kekhalifahan Abu Bakar, demikian juga tatkala Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan menjabat khalifah, Ali dengan ikhlas menerima kepemimpinan mereka. Jadi problem ini justeru muncul dari segolongan umat yang terlampau mengkultuskan sosok Ali sebagai Ahlul Bait, bukan berasal dari Ali sendiri.
Sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab terpilih untuk menggantikannya. Namun di lain sisi, segolongan umat yang menghendaki Ali memegang kepemimpinan makin menguat. Demikian juga tatkala khalifah dijabat oleh Utsman bin Affan, mereka melakukan hal yang sama. Sekelompok umat itu bahkan dengan keji menuduh Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mendzalimi Ali dengan merebut hak politik Ali sebagai penerus estafet kepemimpinan umat sepeninggal Rasul. Umar dan Utsman sendiri menemui syahid di tangan orang muslim sendiri yang memendam kedengkian kepada kekuasaan mereka.
Tatkala Ali menjabat khalifah, pergolakan politik bukannya berakhir. Dalam masa pemerintahan Ali inilah muncul pemberontakan bersenjata pertama terhadap institusi kekhilafahan. Pemberontakan itu dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sofyan—seorang gubernur di wilayah Syam yang menentang keputusan Ali yang merombak orang-orang di pemerintahannya, termasuk memberhentikan dirinya sebagai gubernur. Pemberontakan itu sendiri berakhir dengan perjanjian damai. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa pemberontakan itu menelan banyak korban di kedua belah pihak, sesama kaum muslimin, dan semakin memperparah perpecahan di kalangan umat Islam. Ujung-ujungnya Khalifah Ali harus menemui syahid ditangan orang khawarij (orang islam yang ekstrim dalam memahami dan menjalankan agama). Kaum khawarij memandang Muawiyah telah murtad karena memberontak kepada Khalifah yang sah. Dan mereka juga mengkafirkan Ali karena telah melakukan perjanjian damai dengan Muawiyah—yang sebelumnya telah mereka anggap murtad.
Sepeninggal Ali, perpecahan umat semakin tak teratasi. Hasan bin Ali yang dibaiat umat di Madinah untuk menggantikan Ali dalam kurun waktu enam bulan terpaksa menanggalkan kekuasaan karena di Damaskus, Muawiyah memaklumkan berdirinya negara tersendiri. Hasan dengan sukarela mengundurkan diri karena tidak ingin timbul konfrontasi di antara sesama muslim akibat dualitas kepemimpinan ini. Selanjutnya di bawah kekuasaan Muawiyah, kekhilafahan tidak lagi berjalan lurus. Kekuasaan dimonopoli oleh pihak keluarga Muawiyah dan kalangan di lingkaran kekuasaan. Hak umat atas posisi di pemerintahan menjadi hilang. Orang-orang terbaik di kalangan umat tak bisa tampil menjadi pemimpin. Sebelum meninggal, Muawiyah membaiat putranya sendiri, Yazid, menjadi penggantinya. Keputusan ini semakin memperhebat perpecahan umat dan menimbulkan pergolakan yang menumpahkan darah kaum muslimin. Pada periode kepemimpinan Yazid inilah terjadi tragedi besar yang berdarah-darah, di mana Husein putra Ali bin Abi Thalib bersama ribuan pengikutnya dibantai di padang Karbala oleh pasukan yang dipimpin langsung oleh khalifah Yazid bin Muawiyah. Tragedi ini yang kemudian diperingati oleh kalangan Syiah sebagai hari “Assyura”.
Uraian di atas hanya sedikit dari contoh kemudharatan yang menimpa umat islam sepeninggal Rasul, dan terutama yang terjadi akibat penyimpangan kekuasaan yang dilakukan semenjak Muawiyah mendirikan negara tersendiri dan membaiat dirinya sebagai Khalifah, padahal di saat itu sudah ada Hasan bin Ali di Madinah yang menjadi Khalifah. Kalau ada perintah untuk membunuh khalifah yang kedua (khalifah tandingan) dan itu tidak dilakukan oleh Hasan bin Ali selaku khalifah yang sah, maka saya kira bukan karena ketidaktegasan/kesalahan Hasan. Justeru dengan lapang dada dan seganap kemuliaan akhlaknya, Hasan mengundurkan diri dan membubarkan pemerintahannya demi untuk menghindari pertumpahan darah yang besar. Karena menghukum mati Muawiyah, sama halnya dengan membawa umat islam ke dalam konfrontasi besar, karena Muawiyah tidak berdiri sendiri di sana, ada ribuan kaum muslimin di belakangnya. Saya tidak bisa menguraikan satu per satu apa yang terjadi dalam sepanjang sejarah kekhilafahan daulah Umayah, Abasiyah, maupun Utsmaniah. Untuk lebih jelasnya mungkin bisa di lihat dalam buku-buku sejarah islam yang ada.
Uraian di atas juga tidak saya maksudkan untuk semata-mata menampilkan sisi kelam kehilafahan pada periode Umayah, Abasiyah, dan Utsmaniah, karena di dalam periode tersebut umat Islam juga pernah meraih kejayaan dalam percaturan peradaban dunia. Dari paparan fakta di atas saya mengajak rekan-rekan untuk berpikir lebih kritis lagi, dengan mengkaji secara serius dan mendalam apa-apa yang terjadi di dalam sejarah kekhilafahan. Sebab saya punya asumsi dasar, bahwa kekhilafan pada dasarnya adalah sistem yang sempurna. Namun pada tataran praktis ia juga mengandung sejumlah paradoks. Kekhilafahan butuh figur yang sempurna agar ia bisa berjalan lurus. Di bawah Rasul, jelas ia tak menemui kesulitan/permasalahan karena Rasul adalah sosok yang sempurna dan panutan seluruh umat. Namun sepeninggal Rasul, sebagian umat diliputi banyak kecemasan tentang siapa figur ideal yang bisa menjadi pengganti Rasul. Keempat Khulafa Ar Rashid bisa menjalankan pemerintahan dengan lurus sekalipun mereka juga tak luput mendapatkan pertentangan dari segolongan umat yang merasa tak puas. Saya tidak melihat penyimpangan ataupun kesewenang-wenangan kekuasaan pada periode ini, dan penolakan sebagian umat atas kepemimpinan mereka ini lebih berakar dari sifat dengki mereka terhadap figur-figur Khulafaur Rashidin. Di samping itu juga karena kekhawatiran sebagian umat kalau-kalau figur Khulafaur Rashidin tidak bisa memimpin seadil Rasulullah. (Kekhawatiran yang saya kira wajar bila ditinjau dari alasan bahwa keempat orang tersebut adalah manusia biasa, yang tidak mendapatkan peringatan secara langsung dari Allah apabila melakukan kesalahan. Tidak seperti Rasulullah yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allah sehingga tak mungkin melakukan kesalahan yang berlarut-larut, karena setiap kesalahan Rasul langsung mendapatkan teguran dari Allah melalui Jibril, dan ini menjadi salah satu sebab turunnya Ayat.)
Tidak dipungkiri juga bahwa umat islam berhasil meraih kejayaan terutama sejak didirikannya negara Madinah oleh Rasul hingga kira-kira abad 14 M. Hingga abad 14 Masehi, umat islam berhasil menjadi yang terdepan dalam percaturan peradaban. Dalam segala aspek kehidupan, umat islam berhasil menjadi kampiun. Pusat ilmu pengetahuan dunia Islam yang paling maju pada waktu itu, yakni di Andalusia (sekarang Spanyol), telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar dalam berbagai bidang. Ada Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, Al Biruni, Al Jabar dan Al Khawarismi dalam bidang Matematika, dan masih banyak ratusan yang lainnya. Kepada para jenius inilah sesungguhnya peradaban Barat modern berhutang budi dalam meraih kemajuan pesat seperti saat ini. Para ilmuwan muslim inilah yang mengadopsi dan mengembangkan lebih lanjut tradisi ilmu pengetahuan Yunani (terutama pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles). Menarik di sini bahwa kemajuan dan kejayaan peradaban Islam waktu itu dihasilkan dari sintesis pemikiran Islam sendiri dan pemikiran Yunani. Dalam hal ini saya setuju terhadap pandangan bahwa peradaban besar dibangun lewat proses adopsi dan adapsi terhadap tradisi yang dimiliki oleh peradaban lain, sejauh ia tak menimbulkan pertentangan dan benturan dengan nilai-nilai peradaban sendiri. Dalam hal ini, kejayaan Islam pada waktu itu tak terlepas dari adanya persentuhan dengan tradisi ilmu pengetahuan Yunani di Eropa. Rasulullah sendiri pernah berujar, “tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Sehingga menjadi amat disayangkan bila ada sebagian umat yang menganggap bahwasanya kita tak perlu meminjam dan mengambil sesuatu di luar Islam, karena Islam sendiri sudah lengkap dan tuntas. Sikap yang tidak tepat dalam menfsirkan kesempurnaan agama seperti inilah yang saya kira merupakan akar kemerosotan peradaban Islam di masa lalu (sejak abad 15 M) dan berlanjut di masa sekarang ini. Juga sikap seperti inilah yang pada gilirannya memosisikan agama sebagai dogma buta, menghalangi kita dari persentuhan dengan sesuatu yang dimiliki oleh peradaban lain, dan pada gilirannya menimbulkan keterkungkungan pemikiran dan kemunduran umat. Saya sendiri meyakini bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadist adalah serangkaian/seperangkat petunjuk kehidupan, sedangkan pengetahuan itu sendiri terserak dan tersembunyi di alam semesta, termasuk di dalam peradaban lain. Dan melalui akal-lah kita diperintahkan untuk membuka misteri alam, mempelajari dan memanfaatkannya demi kemaslahatan hidup umat manusia, sebagaimana misi agung Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin (Rahmat bagi seluruh alam semesta).
Kembali kepada Kekhilafahan. Asumsi bahwa kekhilafahan adalah sebuah sistem yang sempurna dan membutuhkan kesempurnaan figur yang memgang kekuasaan, menyiratkan pesan bahwa penyimpangan kekhilafahan pada periode Umayah, Abasiyah, dan Utsmaniah disebabkan karena tidak adanya figur sesempurna Rasul, atau ‘minimal’ seperti keempat Khulafaur Rasidin. Rasulullah adalah manusia paling mulia dan tak ada yang akan sanggup menyaingi kesempurnaan akhlak beliau. Inilah yang kemudian membuat sebagian umat diliputi kekhawatiran tentang siapa figur pengganti yang akan mewarisi kepemimpinan umat pasca meninggalnya beliau. Di dalam institusi khilafah sendiri, kekuasaan berada terpusat di satu tangan. Sekalipun ada majelis umat, namun lembaga ini kewenangannya hanya sebatas memberi masukan dan menyampaikan nasehat kepada khalifah. Ia tak memiliki kewenangan untuk memberhentikan khalifah apabila terjadi penyimpangan di dalam kekuasaan khalifah. Ironisnya lagi, di masa daulah Umayyah, Abasiyyah, maupun Utsmani lembaga ini tidak ada lagi sehingga kekuasaan mutlak berada di tangan khalifah. Ketika Muawiyyah memanipulasi kekuasaannya, tak ada institusi yang bisa meluruskannya. Begitu pula yang terjadi pada masa-masa berikutnya. Saya kira di sinilah letak permasalahannya. Muawiyyah sendiri adalah seorang kader didikan Rasulullah, dan ia juga banyak berjasa dalam berbagai peperangan yang dilakukan kaum muslimin di awal-awal perkembangan dakwah Islam. Sehingga, bagaimana bisa sampai ia dengan teganya mengkhianati kaum muslimin dengan memanipulasi kekuasaan untuk keluarga sendiri dan merampasnya dari umat? Dalam konteks inilah saya rasa kekritisan kita dalam mengkaji sejarah perlu diuji. Yang seringkali dilupakan orang adalah pengaruh manusia terhadap berjalannya sejarah. Di sisi lain orang begitu mengagungkan peran agama terhadap sejarah, namun kerap melupakan perilaku manusianya yang mengejawantahkan/mempraktekkan ajaran agama tersebut dalam ranah kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini ajaran Islam adalah sempurna, namun perilaku sebagian umat (termasuk sebagian pemimpin) itulah yang menodai kesempurnaan agama dalam praktek kehidupan sehari-hari, sehingga pada gilirannya mencoreng citra mulia Islam.
Saya sendiri meyakini dengan bulat-bulat bahwa Islam—dan syariat Islam tentunya—adalah risalah yang sempurna dan paripurna. Tapi Islam juga tak pernah menolak secara mentah-mentah segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Segala sesuatu yang di luar Islam menjadi terlarang hanya bila ia bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dalam hal ini saya juga meyakini bahwa Islamlah yang paling benar, dan agama lain menjadi terbatalkan dan terbantahkan kebenarannya oleh Islam. Namun demikian, asumsi ini tak lantas mengharamkan segala sesuatu yang berdiri di luar Islam. Lebih spesifik, pemikiran/konsep yang dicetuskan oleh manusia, entah ia muslim ataupun bukan, tak lantas menjadi batal hanya karena ia secara tekstual dan harfiah tak termaktub di dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Kalau kita dengan apriori menolak gagasan (dalam ranah muamalah) hanya semata-mata karena ia tak ada sumbernya dalam risalah maupun sejarah Islam, saya khawatir justeru akan menimbulkan ortodoksi dan kejumudan dalam beragama (dan juga hidup sehari-hari), seperti misalnya menolak fotografi dan televisi, sementara di sisi lain tak bisa menghindari penggunaan sepeda motor dan mobil padahal semuanya sama-sama tak ada dalam sejarah maupun risalah Islam. Dan sekali lagi, ortodoksi seperti inilah yang pada gilirannya mengandung bahaya karena menimbulkan fanatisme (yang sempit) sehingga pada gilirannya justeru memerosotkan kualitas peradaban Islam secara keseluruhan.
Sejauh pemahaman saya, risalah Islam itu dibagi menjadi dua aspek, yakni aspek ritual dan aspek muamalah/sosial. Aspek ritual mengatur hubungan manusia dengan Allah secara langsung. Shalat, puasa dan haji adalah termasuk di dalam aspek ritual. Dalam aspek ini kita samasekali dilarang untuk menggunakan akal kita guna merasionalisasi perintah ini. Aspek ini tak terjangkau oleh akal manusia. Kalau dipaksakan untuk merasionalisasikannya malah akan menggiring kepada kesesatan. Dalam aspek ritual, segala sesuatu haram untuk dilakukan kecuali yang diperintahkan saja. Sebagai contoh kita tak bisa menambah ataupun mengurangi jumlah rakaat dalam shalat dengan alasan apapun. Sebaliknya di dalam aspek sosial asumsi dasar yang berlaku adalah bahwa segala sesuatu boleh dilakukan kecuali beberapa yang dilarang. Pada ranah inilah kita memiliki kebebasan penuh menggunakan akal kita untuk mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia, sepanjang ia tak bertentangan dengan beberapa larangan syariat. Sebagai misal, dalam kehidupan ekonomi Allah melarang riba (bunga) dan melarang mengurangi timbangan (berbuat curang, eksploitasi). Maka kita bebas melakukan kegiatan ekonomi sepanjang tak ada unsur riba dan kecurangan di dalamnya, termasuk tak ada eksploitasi terhadap orang lain maupun alam secara membabi buta.
Nah, dalam hal ini saya memisahkan antara syariah dan khilafah. Syariah adalah seperangkat hukum yang wajib dilaksanakan secara kaffah karena memang ada perintah yang tegas di dalam Al Quran. Sedangkan khilafah adalah sebuah sistem politik dan pemerintahan yang berfungsi mengatur hubungan antar manusia. Dalam hal ini, khilafah berada dalam aspek muamalah. Di dalam Al Quran dan Al Hadist, tidak termaktub satu perintahpun untuk mendirikan dan mempertahankan institusi ini. Yang termaktub dalam ajaran Islam adalah kewajiban menjalankan syariat secara total, dan ini terbuka kemungkinan dilaksanakan di dalam sistem pemerintahan apapun sepanjang ia merupakan yang terbaik untuk kondisi zamannya.
Saya berasumsi bahwa penyimpangan kekhilafahan pada periode Umayyah, Abasiyyah maupun Utsmaniah disebabkan bukan karena cacatnya kekhilafahan, sebaliknya karena tidak adanya figur yang memadai untuk menegakkan kekhilafahan di jalan yang lurus. Situasi demikian pada akhirnya justru menjadi bumerang bagi institusi kekhilafahan itu sendiri, dan pada gilirannya merugikan umat secara keseluruhan. Dan karena sistem kenegaraan di dalam ajaran Islam masuk dalam aspek muamalah, maka sangat terbuka kemungkinan bagi umat untuk merumuskan bentuk pemerintahan negara, sepanjang ia bisa menegakkan risalah Islam di dalam masyarakat. Dalam hal ini, kita juga bisa mengoreksi terjadinya penyimpangan dalam kekhilafahan di periode Umayah, Abasiyyah, dan Utsmaniah. Kalau kekuasaan kekhilafahan menjadi tidak stabil di masa tersebut, berarti ada yang tak bisa dipenuhi oleh umat untuk melaksanakannya sebagaimana pada periode Rasul dan Khulafaur Rasidhin. Tak ada lagi figur seperti Nabi dan keempat khulafaur Rashidin sepeninggal Ali hingga saat ini, juga nanti. Seperti kata Nabi, “generasi terbaik di kalangan umat adalah generasi sekarang, kemudian sesudahnya, dan kemudian sesudahnya lagi.” Itu berarti semakin terpaut jauh dari masa generasi pertama dalam sejarah Islam, yakni para sahabat Nabi, kualitas (akhlak) umat secara keseluruhan akan semakin menurun. Sehingga tak mungkin di zaman ini kita bisa menemukan figur seideal Nabi atau minimal seperti keempat Khulafaur Rashidin untuk mengemban kekuasaan yang terpusat. Dan apabila sistem kekuasaan terpusat tersebut dipaksakan di zaman sekarang ini, ribuan tahun sesudah zaman generasi pertama Islam, justeru akan menjadi bumerang bagi umat karena kemungkinan besar akan terjadi penyimpangan. Untuk itulah kita perlu merumuskan suatu bentuk pemerintahan yang menutup peluang terjadinya penyimpangan kekuasaan akibat tak adanya figur ideal bagi kepemimpinan politik umat.
Dan untuk itu saya mengajukan hipotesa: penyimpangan itu bukan semata-mata karena tak adanya lembaga Majelis Umat, namun karena dalam institusi khilafah kekuasaan terpusat di satu tangan, yakni khalifah. Kalaupun pada waktu itu Majelis Umat tetap ada, ia tak punya kewenangan memberhentikan khalifah, karena perannya hanya sebagai penasehat dan penyalur aspirasi umat. Dan nasehat saja tak akan dapat meluruskan penyimpangan karena kelemahan akhlak figur pemimpin yang ada. Kalau dalam khilafah disebutkan bahwa kedaulatan tertinggi ada pada hukum syariat, akan muncul problem mengenai siapa yang akan memberlakukan hukum syariat kepada khalifah tatkala ia menyimpang. Kalau ada pendapat bahwa umat masih wajib tunduk kepada khalifah meski ia melakukan penyimpangan sejauh ia tetap berpegang kepada syariah, tentu muncul pertanyaan: bagaimana mungkin di dalam penyimpangan, hukum syariah masih bisa dipegang dan dilaksanakan secara lurus oleh yang melakukan penyimpangan? Bagaimana mungkin khalifah—sebagai pengemban dan pelaksana syariat—dapat (dan mau) menghukum dirinya sendiri tatkala ia menyimpang? Dan kenyataannya, sebagai contoh, Muawiyah tidak pernah menghukum dirinya sendiri atas penyelewengan kekhilafahan yang dilakukannya, juga Yazid bin Muawiyah yang melakukan pembunuhan terhadap Husein putera Ali bin Abi Thalib bersama ribuan kaum muslimin pengikutnya, tetap memegang tampuk kekhilafahan hingga ia meninggal di dalam istananya yang megah tanpa sedikitpun tersentuh hukum syariat. Dan penyimpangan kekuasan ini berlangsung hingga ribuan tahun sampai runtuhnya daulah Utsmaniah pada 1924.
Pemusatan kekuasaan pada satu figur memang memiliki kelebihan, yaitu cepatnya pengambilan keputusan yang mendesak dan terhindar dari kericuhan politik di lingkup kekuasaan. Namun kelemahannya adalah tidak adanya lembaga yang bisa mengawal dan mengoreksi apabila ada kesalahan dan penyimpangan di dalamnya. Di tangan figur yang sempurna dan berakhlak mulia, yang sanggup menampik godaan kekuasaan, sistem kekuasaan yang terpusat dapat berjalan lurus. Namun ketika tak ada lagi figur yang seperti itu, ia berpeluang besar untuk munculnya kekuasaan yang menyimpang dan otoriter. Dan saya kira, distribusi kekuasaan ke dalam beberapa lembaga negara, di mana terdapat lembaga yang punya kewenangan melakukan koreksi kekuasaan, dan memberhentikan penguasa (eksekutif) apabila menyimpang, merupakan jawaban bagi penyimpangan yang terjadi dalam sejarah kekhilafahan daulah Umayah, Abasiyyah, dan Utsmaniah.

Distribusi Kekuasaan
Seperti telah disinggung di atas, sistem politik-pemerintahan berada dalam aspek muamalah. Itu berarti, tidak menutup kemungkinan untuk memikirkan dan merumuskan sistem politik-pemerintahan seperti apa yang nantinya akan ditegakkan guna menjaga kestabilan kekuasaan dari kemungkinan penyelewengan, sehingga syariat islam bisa tetap tegak dan tak termanipulasi oleh kekuasaan.
Seperti telah diurai di atas, penyimpangan kekuasaan terjadi akibat tiadanya figur ideal yang tak ‘tergoda’ kekuasaan ketika institusi kekuasaan yang terpusat di satu tangan, dalam hal ini adalah kekhilafahan, berada dalam genggamannya. Dengan lain perkataan, penyimpangan kekuasaan dalam institusi khilafah terjadi karena pemimpin yang tampil sepeninggal Ali bin Abi Thalib tak memiliki integritas akhlak yang memadai untuk tak terjerumus dalam godaan kekuasaan. Di sinilah sebetulnya titik kritis dalam sejarah umat. Dibutuhkan sistem pemerintahan yang mampu mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan. Dan saya kira, solusi itu adalah pembagian kewenangan dalam pengelolaan negara sehingga kekuasaan tidak terpusat di satu tangan. Perlu ada lembaga yang mampu mengontrol kekuasaan, dan meluruskannya ketika terjadi penyimpangan. Perlu lembaga peradilan yang berdiri independen sehingga tidak terpengaruh oleh campur tangan kekuasaan pemerintahan, dan ia bisa mengadili orang-orang di lingkaran kekuasaan ketika mereka melakukan kesalahan. Jadi singkatnya, distribusi kekuasaan negara agar tidak terpusat di satu tangan merupakan solusi bagi kestabilan sistem politik itu sendiri, dan tentunya agar hukum syariat tetap bisa berjalan lurus dan tidak dimanipulasi oleh penguasa. Distribusi kekuasaan akan menutup kemungkinan adanya penyelewengan kekuasaan dibandingkan apabila kekuasaan dimonopoli oleh satu tangan.
Sebelumnya saya akan kembali menegaskan bahwasanya tidak semua yang ada di luar ajaran Islam menjadi haram dan terlarang sepanjang ia tak bertentangan dengan yang termaktub dalam teks Al Quran. Sebagai misal kita tidak bisa memvonis haram semua teori-teori di dalam ilmu pengetahuan, baik sains maupun sosial, hanya semata-mata karena secara tekstual ia tak ada di dalam Al Quran dan tak ada contohnya di dalam As Sunnah. Sebagai contoh, kita tidak bisa mengharamkan teori relativitas di dalam ilmu fisika hanya karena ia dihasilkan oleh orang non muslim dan tak ada tuntunannya dalam teks Al quran. Sebaliknya teori evolusi Darwin menjadi haram dan terlarang karena ia bertentangan dengan ‘informasi’ yang ada di dalam Al quran mengenai hakikat penciptaan manusia. Dan belakangan, perkembangan riset ilmiah membuktikan bahwa teori evolusi Darwin itu ternyata salah dan menyesatkan. Dan riset ilmiah pula yang juga pada akhirnya membuktikan kebenaran ‘informasi’ Al quran mengenai hakikat penciptaan manusia.
Berangkat dari asumsi di atas, kita tentu tak bisa memvonis pemikiran yang dihasilkan oleh seorang non muslim mengenai tata negara (ilmu politik) sebagai sesuatu yang haram, sepanjang ia tak bertentangan dengan ajaran Islam. Secara spesifik saya ingin menegaskan, bahwa konsep Trias Politica (pembagian kekuasaan ke dalam tiga institusi kekuasaan) tidak lantas terbatalkan hanya karena ia dirumuskan oleh seorang non muslim, dan secara tekstual ia tak ada dalam Al quran dan Al Hadist. Dalam konsep Trias Politica tersebut, kekuasaan di bagi tiga: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembagian ini didasarkan atas asumsi bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut/terpusat akan menimbulkan penyimpangan yang sulit—dan hampir mustahil—diluruskan”. Saya kira asumsi ini juga mendapatkan bukti kebenarannya dalam sejarah kekhilafahan, yaitu semenjak Muawiyah menjadi khalifah hingga runtuhnya daulah Utsmani pada 1924. Selama ribuan tahun kekuasaan itu mengalami penyimpangan dan tak terluruskan, disebabkan terpusatnya kekuasaan hanya di satu tangan (absolut). Pada waktu itu tak ada institusi dalam pemerintahan yang bisa mengembalikan kekhilafahan agar berjalan sesuai yang dicontohkan Nabi dan keempat Khulafaur Rasidin. Dalam kekuasaan yang menyimpang itu, memang umat islam pernah meraih kejayaan. Namun tak bisa dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat banyak kemudharatan dalam berbagai aspek. Bahkan mungkin, seandainya kekuasaan pada waktu itu bisa diselamatkan dari penyimpangan, bisa jadi saat ini umat islam tidak akan kehilangan kejayaannya. Seandainya tak ada manipulasi kekuasaan, mungkin umat islam sekarang akan tetap menjadi yang terdepan di dalam percaturan zaman. (Saya berandai-andai bukan untuk menyesali apalagi mengingkari takdir. Saya hanya ingin menegaskan bahwa penyimpangan itulah yang menjadi benih-benih perpecahan umat yang pada gilirannya merapuhkan kesatuan umat dan meruntuhkan peradaban Islam sendiri). Di sinilah letak permasalahan yang mesti dikaji secara kritis. Bagaimana bisa kekuasaan berada dalam penyimpangan selama berabad-abad tanpa ada kekuatan/intitusi apapun yang bisa meluruskannya.
Lantas muncul pertanyaan, apakah hukum syariat bia ditegakkan dalam sistem pemerintahan yang lain? Dalam demokrasi, misalnya, apakah syariat bisa ditegakkan?
Saya berhipotesa dengan memberikan jawaban positif atas pertanyaan tersebut. Dalam demokrasi, terbuka ruang dan peluang yang luas bagi ditegakkannya syariah. Tentunya tetap dengan memperhatikan syarat-syarat bagi penegakan syariat itu sendiri di tengah masyarakat/negara. Syarat pertama dan yang utama tak lain adalah keikhlasan dari seluruh umat islam itu sendiri. Keikhlasan itu sendiri tak bisa tumbuh kalau di kalangan umat Islam sendiri masih terdapat kecurigaan terhadap pemberlakuan hukum syariat. Kecurigaan itu berakar dari ketiadaan pemahaman yang memadai/menyeluruh terhadap hukum syariat. Jadi, jalan pertama yang harus dilalui dalam perjuangan ini adalah mendakwahkan Islam secara kaffah kepada segenap lapisan umat islam. Dan tugas ini tak lain berada di pundak para intelektual dan ulama’. Sejarah menunjukkan bahwa dakwah Islam menyebar ke seantero dunia terutama bukan karena kekuatan politik, melainkan karena peran juru dakwah dan para saudagar muslim. (Hal ini yang saya kira perlu digaris bawahi sehingga tidak membuat kita apatis dan pesimis dengan dakwah islam ketika tak ada lagi daulah Islamiyah di dunia ini.) Ketika umat sudah memiliki keseragaman perspektif mengenai syariat, saya yakin tak akan ada lagi kecurigaan, dan mereka akan dengan ikhlas bernaung di dalam satu ikatan dalam sebuah negara yang berlandaskan hukum Islam. Di samping penyadaran terhadap umat islam sendiri, tentunya kita juga harus memberikan pemahaman yang benar mengenai sistem islam terhadap kalangan non muslim. Ini sangat penting agar tidak tumbuh prasangka di kalangan mereka bahwa ketika hukum islam diterapkan, mereka akan mengalami penindasan dan menjadi warga negara kelas dua. Jika prasangka negatif kalangan non muslim tidak diatasi, justeru itu akan merugikan upaya penegakan syariat dalam negara, karena mereka tentunya akan merongrong setiap upaya perjuangan menegakkan syariat. Mereka harus mendapatkan pemahaman yang benar mengenai syariat, bahwa Islam adalah rahmat untuk semua manusia (baik muslim maupun non muslim) dan alam semesta. Ketika kalangan non muslim sudah mendapatkan pemahaman yang benar dan mau dengan sukarela dan ikhlas hidup di dalam negara Islam, di situlah syariat akan bisa ditegakkan di tengah-tengah masyarakat/negara. Dan melalui sistem demokrasi, kestabilan dan keberlangsungan pemerintahan akan bisa diselamatkan dari penyimpangan dibandingkan jika ia berada di dalam sistem kekuasaan yang terpusat.
Lantas muncul pertanyaan, bukankah di dalam demokrasi kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat? Lantas Tuhan (dalam hal ini adalah hukum-Nya) berada di posisi mana?
Jawaban yang relevan untuk pertanyaan tersebut saya kira adalah dengan mempertanyakan balik tentang hakikat manusia/rakyat itu sendiri. Bukankah tiap manusia adalah khalifah/wakil Tuhan di muka bumi? Kepada manusialah urusan memakmurkan dunia diserahkan. Ketika manusia bernaung di bawah hukum Allah, dan tunduk serta patuh kepada semua risalah-Nya, apakah masih tersimpan kekhawatiran bahwa Tuhan (dan syariat-Nya) akan diingkari eksistensinya di dalam kehidupan ini? Sebaliknya saya bertanya balik, apakah ketika kita mengatakan kedaulatan tertinggi berada di Tangan Allah, lantas Ia akan turut campur dalam urusan dunia? Apakah Allah akan menghukum secara langsung di dunia ini, orang-orang yang mengingkari eksistensi dan Risalah-Nya? Allah memiliki sifat Rahman yang berlaku bagi semua manusia, yang taat maupun yang ingkar. Dan kepada manusialah urusan dunia diserahkan, dan untuk itu manusia dibekali serangkaian petunjuk, yakni risalah agama (Dinnul Islam). Dan berbekal risalah itulah manusia diberikan kebebasan untuk membangun kehidupan dunianya, tanpa ada campur tangan secara langsung dari Sang Pencipta. Setelah diberi petunjuk, manusia diberi kebebasan dan kewenangan mengelola urusan dunianya sebaik mungkin berdasarkan risalah tersebut. Sehingga akhirnya, ketika umat manusia hidup dalam risalah-Nya, itu berarti kedaulatan hukum syariat berada pada supremasi tertinggi, karena syariat telah termanifestasikan di dalam diri setiap umat. Dan masyarakat yang Islami akan berdiri dan tegak di tengah-tengah peradaban.

Ikhtisar
Sistem yang sempurna mengharuskan tampilnya figur yang juga sempurna untuk memegang tampuk kepemimpinan. Ketiadaan figur yang sempurna justeru akan menimbulkan paradoks dalam tataran praktis sistem tersebut.
Kebuntuan politik/penyimpangan kekuasaan harus dijawab dengan mengkaji ulang sistem tersebut apakah ia memenuhi kondisi yang ada untuk ditegakkan. Merumuskan sebuah sistem yang baru demi mengatasi kebuntuan politik tersebut menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari, agar masyarakat/negara tetap bisa eksis dan syariat bisa ditegakkan di tengah-tengahnya.

Dalam trias politica (demokrasi), kekuasaan terdistribusi ke dalam tiga lembaga negara yang masing-masing memiliki tugas dan kewenangan berbeda dan saling melengkapi sehingga memungkinkan terciptanya keseimbangan kekuasaan, dan menghindarkan penyelewengan seperti yang terjadi apabila kekuasaan itu terpusat di satu tangan. Dalam sistem ini, peluang untuk diterapkannya syariat terbuka lebar.


Tanggapan....
Kayaknya diskusi menarik nich, atau setidaknya diskusi yang serius, yang jarang diminati oleh orang kecuali hanya sebagian kecilnya saja. Semoga menjadi bola salju yang menggilas.
saya tanggapi point-point pentingnya saja, kritisasi atau setidaknya alternatif sudut pandang.
1. Sistem yang sempurna mengharuskan tampilnya figur yang juga sempurna untuk memegang tampuk kepemimpinan. Ketiadaan figur yang sempurna justeru akan menimbulkan paradoks dalam tataran praktis sistem tersebut.
Menurutku syariat dan khilafah itu bukanlah dua entitas yang berbeda sehingga kita memberi konjungsi atau sebagai bentuk pilihan (choice). Karena inti dari Khilafah adalah Syariat dan Ukhuwah dan Khilafah merupakan bagian dari hukum Syariat.
Adapun pemisahan antara syariat dan khilafah dalam kontek ubudiyah atau mu’malah, menurutku kurang relevan, karena
Pertama, pembagian syariat Islam menurut Hafidz Abdurahman dalam “Diskurus Islam Politik dan Spiritual” itu menjadi tiga ritualitas (ubudiyah), Akhlak (makanan, minuman, akhlak terhadap diri), dan muamalah. Hal ini merupakan eja wantah dari pola hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamannya.
Kedua, emang fren, dalil tentang Daulah Khilafah tidak ada dalam Al-Qur’an tapi ada dalam Hadist “... satakunu khilafatan ‘ala minhajin nubuwah” (HR Ahmad). Hadist ini Shahih, menurut standarisasi pengambilan hukum, status shahih sebenarnya sudah cukup kuat untuk dijadikan landasan hukum. Di samping itu menurutku, ketidakadaan secara tektual dalam al-Qu’an, padahal ada secara substantif, kemudian menjustifikasi ketiadaan konsep adalah hal yang naif. Seperti haramnya khamr, itu tidak ada kata dalam al-Qur’an yang mengatakan secara redaksional khmer itu haram. Hanya dalam teks innamal khamru ....min ‘amalis syaithon” tapi qorinah atau adanya indikasi yang kuat atas keharamannnya. Sedangkan dalil untuk terikat dengan hukum Allah itu sangat banyak dalam Al-Qur’an. Saya yakin kamu sepakat dalam hal ini.
Ketiga, ada kaidah yang mengatakan bahwa hukum asal segala sesuatu (things atau benda) adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya (al ashlu fi al ashya’ al ibahah), sedangkan hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara’ (al ashlu fi al af’al at taqoyyud bi hukmi syar’i). Jadi hukum asal untuk benda itu hanya dua, yakni halal dan haram. Sedangkan hukum untuk perbuatan manusia itu ada lima, wajib, sunnah, mudah makruh, dan haram. (lihat Ata’ Abu Rushto “Taisirul Wusul Ila Ushul”).
Keempat, Adapun adopsi dan adapsi konsep lain di luar Islam, terutama dalam segi muamalah. Menurutku derajat adapsi itu lebih tinggi ketimbang dengan adapsi, dan adopsi lebih tinggi ketimbang jiplak atau meniru. Adopsi merarti ada proses pemilihan, seleksi atau filter, ya... analoginya sich sperti kita mau ngadopsi anak, kan gak semua anak kita adopsi, tapi ada proses mencaari dan memilih. Sedangkan adapsi berasal dari kata adab menjadikannya lebih beradap, memperbaikinya, istilah yang lebih membumi secara epistemologi ya sebutlah itu sebagai proses “islamisasi”. Anak sesudah diadopsi tentunyaharus dididik dengan baik, iya kan. Dalam hal ini an-Nabhani memberi bangunan argumentasi yang cukup kritis, dengan membedakan antara hadlarah dan madaniyah.
Hadlarah itu lebih pada sekumpulan pemehaman tentang kehidupan yang mempunyai nilai ideologis tertentu (setidaknya Islam, kapitalisme, dan sosialisme sebagai representasi ideologi yang eksis didunia ini). Sedangkan madaniyah itu dibagi menjadi dua umum (“amm) atau khusus (khas). Madaniyah itu lebih merujuk pada perangkat materi yang digunakan sebagai bahan pendukung kehidupan. Yang bersifat umum itu seperti mobil, komputer, perindustrian dll yang tidak ada nilai ideologis tertentu), khusus seperti salib, gereja, senegog dll. Dan An-Nabhani hanya membolehkan adopsi hanya pada wilayah madaniyah amm saja, hal yang bersifat umum yang tidak ada nilai ideologis.
Landasan argumentasinya bisa kita galih dari kajian secara obyektif-empirik terhadap dampak ketika diterapkannya masing-masing ideologi ketika diterapkan genuinly. Menurutku ini adalah landasan argumentasi yang rasional dan kuat. Adapun Islamisasi dalam ranah hadlarah itu hanya bisa dilakukan oleh mujtahid bukannya rakyat awaam. Dan ini tidak bisa digeneralisasi kebolehan mengegopsi oleh semua orang muslim,, tentunya kapasitas dan kepakaran menjadi pertimbangan yang tepat, seperti Ghazali, Ibn Rusyd mengkritik filsafat Yunani, toh memang semua orang tidak bisa melakukan itu, kecuali memang orang-orang yang benar2 mengerti. Ada hadist yang mengatakan apabila sebuah perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (lihat Islamia edisi Islamisasi Ilmu Pengetahuan, atau Taqiyuddin An-Nabhani dalam Sistem Peraturan Hidup dalam Islam”
Konsep tentang Khilafah adalah bagian dari syariat, karena ketika ketiadaannya akan berimplikasi akan hilangnya sebagian besar dari hukum Islam. Jadi pemisahan antara keduanya menurutku adalah hal yang tidak mungkin.
Adapun gagasan ingin memadukan antara Syariat Islam dengan sistem Politik Modern, pembahasannya harus dikembalikan kepada konsepnya, apakah secara substantif bertentangan dengan syariat atau tidak, benilai ideologis atau tidak, karena semua ini akan berimplikasi dalam ranah praktis mekanisme sebuah ideologi yang terbentuk dalam sistem. Mengenai kritisasinya akan kutulis di Ikhtisar bagian kedua dan ketiga.
2. Kebuntuan politik/penyimpangan kekuasaan harus dijawab dengan mengkaji ulang sistem tersebut apakah ia memenuhi kondisi yang ada untuk ditegakkan. Merumuskan sebuah sistem yang baru demi mengatasi kebuntuan politik tersebut menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari, agar masyarakat/negara tetap bisa eksis dan syariat bisa ditegakkan di tengah-tengahnya.
Hal mendasar yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa sejarah tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum, tapi sejarah menjadi sumber hikmah atau pelajaran yang kita patut untuk belajar kepadanya. Kiranya itulah mungkin yang dimaksudkan oleh Soekarno dengan JASMERAH. Apa yang dilakukan oleh ahmad Wahib menurutku ada kesalahan metodologis karena menempatkan sejarah (sirah nabawiyah) sebagai sumber utama sebelum al-Qur’an dan Hadist, dengan argumentasi karena dalam lintasan sejarah itulah al-Qu’ran dan Hadist tercipta. Metodologi ini berimplikasi pada asumsi bahwa al-Qur’an adalah produk sejarah (muntaj tsaqofi) bukannya sebagai wahyu ilahi (al kitab al muhi).
Jadi beberapa penyelewengan dalam penerapan Khilafah bukannya justifikasi akan buruknya sistem, kelamnya sejarah juga bukan sebagai landasan untuk tidak menerapkannya lagi. Memang kepemimpinan dalam arti person bukan sistem memang memegang peranan yang cukup penting. Ini terbukti sistem Khilafah juga pernah berjaya dan gemilang di masa Umar bin Abdul Aziz yang mendapat julukan sebagai Umar al Faruq II. Ini memang menunjukkan karekter seorang pemimpin adalah hal yang cukup urgen dan penting. Dan saya tidak menafikan hal itu.
Ada pepetah yang mengatakan ketika sebuah sistem atau lingkungan di sekeliling kta sudah hancur tak terperikan maka hal yang tepat adalah ibda’ binafsik (mulai dari dirimu sendiri perbaikannya)
Dan Kondisi yang kondusif akan eksistensi sebuah negara bisa diciptakan, menurutku hal yang naif ketika ada kebobrokan kita menyerah, derajat lebih tinggi mengkompromikannya, sebagai langkah aman prakmatis-oportunis. Tapi langkah yang berani dan progresif adalah mengubah atau bahkan kalau perlu menciptakan sebuah kondisi yang kondusif. Dan itu kayaknya yang dilakukan Rasul di masa jahiliyah.
Biar opini ini tidak berhenti dalam tataran apologia, dia harus diiktuti dengan penkajian dan langkah aktif dan produkstif di tengah mansyarakat. Dan an-Nabhani berpendapat pintu ijtihad belum tertutup bagi umat Islam. Jadi adalah pilihan bagi kita untuk berdiri dimana, pesimis, pragmatis-opurtunis, atau aktif-progresif.
3. Dalam trias politica (demokrasi), kekuasaan terdistribusi ke dalam tiga lembaga negara yang masing-masing memiliki tugas dan kewenangan berbeda dan saling melengkapi sehingga memungkinkan terciptanya keseimbangan kekuasaan, dan menghindarkan penyelewengan seperti yang terjadi apabila kekuasaan itu terpusat di satu tangan. Dalam sistem ini, peluang untuk diterapkannya syariat terbuka lebar.
Permohonan maaf
Pilar-pilar ini juga ada kok dalam sistem Khilafah, karena ada Mahkamah, Majlis Umat, dan ada Khilafah. Dan Khalifah bisa diberhentikan oleh Mahkamah Madzalim. Penjelasan tentang ini bisa dilihat di Taqiyuddin An-Nabhan dalam Sistem Pemerintahan Islam atau dalam Adminstrasi dan Struktur Negara Khilafah. Mungkin teman2 bisa menanggapi hal ini. Gimana? Ayo menulis...



Tempointeraktif.com - Iptek

Syariah