PETA Jember Raya

Saturday, January 26, 2008

Mengenang 12 Februari, Hari Proklamasi Kemerdekaan Jilbab

Oleh Teguh S, alumni Univercity of Liberation Movement
Sebagai bentuk dukungan moral atas berbagai masalah yang dialamai pelajar dan mahasiswa muslimah pemakai jilbab di berbagai institusi pendidikan di Indonesia

Munculnya gelombang besar kesadaran berjilbab sepanjang tahun 1980-an merupakan fenomena yang sangat menarik untuk diamati dan dikenang. Agaknya bisa dipastikan bahwa belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia munculnya suatu gelombang kesadaran untuk mengenakan buasana muslimah yang semacam ini. Fenomena ini lebih menarik lagi mengingat hal ini terjadi di kalangan remaja putrid sekolah menengah dan pada sekolah-sekolah negeri, bukan madrasah atau sekolah-sekolah Islam – gejala yang sama juga terjadi secara berbanding lurus di kampus-kampus negeri seperti UI, ITB, IPB, UGM, IKIP Jakarta, IKIP Malang, dsb.

Fenomena ini kemudian diwarnai dengan kasus-kasus yang berkaitan dengan jilbab. Di SMAN 1 Jember pada awal tahun 1982, Triwulandari, siswi di sekolah itu yang baru mengenakan kerudung, segera mendapatkan tantangan. Ia dipaksa pulang oleh kepala sekolah karena dianggap melanggar pakaian seragam sekolah dan dituduh sebagai anggota Jamaah Imron. Ia bahkan sempat dipanggil oleh Kodim 0824 Jember dan ditanyai tentang Jamaah Imron. Empat belas organisasi remaja masjid, organisasi ekstra pelajar, dan mahasiswa di Jember kemudian menyurati kepala sekolah SMAN 1 Jember (tertanggal 1 Februari 1982), meminta agar siswi berkerudung tetap diijinkan bersekolah dalam pakaian muslimah. Kepala Sekolah, I Made Rempet, menjawab langsung surat itu bahwa ia tak berhak mengijinkan, kalau tidak ada ijin dari Gurbernur. Surat berikutnya yang dikirimkan oleh dua anggota remaja masjid di Jember (tertanggal 5 Februari 1982) tidak mendapat balasan.

Pada akhir tahun 1990, masalah jilbab banyak diangkat di media massa. Saat itu, beberapa media memainkan peranan memberi tekanan pada pemerintah untuk media menyelesaikan masalah seragam sekolah. Harian Piukiran Rakyat beberapa kali mengangkat tema kerudung pada “Tajuk Rencana”-nya. Pada satu kesempatan, harian ini mengkritik birokrasi Indonesia telah menyapa siswi-siswi pemakai jilbab bukan dengan tradisi memahami, melainkan tradisi peraturan. Pada kesempatan berikutnya tulisan dibuka dengan pernyataan ini,
“Kita selalu menentang segala aturan yang menyengsarakan masyarakat kita karena kebebasan beribadahnya dibatasi. Dapatkah kita membayangkan betapa menderitanya orang-orang yang dilarang beribadah, dan diancam bila mereka beribadah? Dapatkah kita membayangkan perasaan dosa bagi orang-orang yang tidak beribadah akibat suatu larangan?

Harian Terbit, juga pada akhir tahun 1990, mengangkat masalah ini sering lagi. Beberapa saat sebelumnya telah terjadi demonstrasi di Bandung, menuntut dicabutnya larangan berjilbab di sekolah. KH Dawam Anwar, pimpinan Pondok Pesantren An-Nur Al-Kasysyaf, Bekasi Jawa Barat, mengkritik penyalahgunaan kekuasaan oleh beberapa oknum. Pelarangan jilbab menurutnya tidak sesuai dengan Pancasila. Beberapa terbitan berikutnya juga mengingatkan pemerintah untuk meninjau ulang peraturan seragam sekolah yang ada.

Sementara itu masih saja terjadi pelarangan jilbab, kali ini di SMA 1 dan 4 Bekasi. Siswi-siswi di sekolah itu tidak diberi soal ujian. Mereka bersama pelajar-pelajar lainnya, seluruhnya 100 orang, kemudian mendatangi Kantor Mahkamah Agung untuk menyampaikan beberapa tuntutan, tetapi tidak berhasil menemui Ketuanya, Ali Said, karena sedang keluar kota. “Cabut SK Dikdasmen No. 052 tahun 1982 hari ini juga”, “Jilbab Yes : Rok Mini No?”, begiru poster-poster yang mereka bawa.
Pada saat yang sama, rupanya sedang ada pembicaraan intensif antara MUI dan Depdikbud. Pihak Depdikbud, di bawah Menteri dan Dirjen Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan seragam yang ada. Tekanan dari masyarakat, media massa dan MUI semakin kuat. Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah merubah haluan Pemerintah lebih akomodatif terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi karena sikap Orde Baru yang selama ini cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser dan Dekdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti arah bandul irtu.

Akhir 1989 atau awal tahun 1990, MUI mengadakan Munas dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah. Menindaklanjuti hasil munas tersebut, MUI beberapa kali melakukan pertemuan dengan Dekdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen. Pada pertemuan di sebuah restoran di Kawasan Monas bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal 10 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangi, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi IX DPR RI, dan BAKIN.

Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut dinyatakan “siswi putrid (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab atau kerudungnya. Bentuknya jelas beda dengan bentuk tutup kepala pada SK sebelumnya yang lebih mirip topi mandi. Masih terlihat “gengsi” pemerintah untuk mengakui istilah yang biasa digunakan untuk pakaian seperti itu, termasuk juga untuk mengakui pengaruh protes masyarakat dalam penyusunan SK baru tersebut. Namun bagi umat Islam, hal ini tidak begitu penting, mengingat aspirasi mereka telah diperhatikan dan diakomodasi lewat apa yang disebut dengan “seragam khas” tadi.
Bebarapa masalah jilbab yang tersisa serasa tak berarti dibandingkan gerbang kemerdekaan yang sudah terlihat di depan mata. Kegembiraan atas munculnya peraturan baru ini diekspresikan dengan berbagai macam cara. Majalah Panji Masyarakat menyebutkan sebagai “habis gelap terbitlah terang”, mengingatkan kita pada kumpulan tulisan Kartini yang dibukukan. Hari ditandatanganinya SK No. 100 tahun 1991 disebut-sebut juga dengan Hari Proklamasi Kemerdekaan Jilbab. Kebetulan tahun 1991 ditetapkan oleh pemerintah sebagai tahun kunjungan wisata Indonesia, Visit Indonesia Year. Sebuah SMA di daerah Jakarta Timur mengabadikan tema ini dalam sebuah spanduk – setelah diplesetkan tentunya – Visit Jilbab Year 1991. di beberapa tempat juga diselenggarakan sujud syukur atas kebebasan memakai jilbab di SMP dan SMA negeri ini. Mulai detik penandatanganan SK 100 1991 itu, sudah semestinya di Indonesia ini tidak ada tindakan-tindakan pada institusi-institusi pendidikan pada tingkatan manapun. Mereka sudah tidak punya alasan lagi utuk mendeskriditkan para jilbaber maupun mengintimidasi mereka.

Sejak tahun 1991 itu, dimulaialah sebuah era baru bagi para muslimah di sekolah-sekolah negeri. Mereka tidak lagi “bongkar pasang” jilbab setiap kali pergi ke sekolah, berangkat dengan memakai jilbab dari rumah, melepasnya ketika sampai di gerbang sekolah, dan mengenakannya kembali ketika pulang ke rumah. Tak ada lagi tarik menarik tas dengan guru, dipaksa keluar kelas, dipanggil oleh kepala sekolah, mendapatkan sindiran setiap saat, atau hal-hal yang tidak mengenakkan lainnya.

Problem Jilbab Pasca 1991

Satu masalah masih tersisa setelah keluarnya SK 100 tahun 1991, yakni masih banyaknya siswi muslimah yang tidak mengenakan jilbab itu sendiri. Mungkin mereka belum tahu betul hukum wajibnya dan batasan mengenakan busana muslimah. Atau bisa jadi, sebenarmya mereka tahu hal ini, tapi meremehkan dan lebih rela menjadi korbam westernisasi. Masih banyak siswi yang takut, canggung, bahkan risih mengenakan pakaian dan seragam muslimah. Padahal sejatinya, dengan pakaian muslimah itu, mereka lebih terlihat santun, terhormat dan anggun.

Masalah kedua yang sangat penting adalah dampak dari semakin mudahnya pelajar menakai jilbab. Jilbab dan kerudung bahkan kini menjadi trend bagi sebagian orang. Hal ini membuat pemakai jilbab pada hari ini lebih “cair” dibanding generasi sebelumnya. Maksudnya, banyak muslimah yang memakai jilbab, tetapi pada saat yang sama lupa untuk menjaga nilai-nilai agama lainnya. Tidak sedikit diantara mereka yang berpacaran dan berdua-duaan tanpa rasa canggung. Banyak juga yang akhlaknya buruk sehingga membuat citra jilbab dan juga Islam (karena jilbab merupakan salah satu simbol Islam yang penting) menjadi turun dalam pandangan umum. Orang-orang kemudian berkata , “Ah…dia aja yang pakai jilbab kayak gitu.’ Umat Islam pun hanya bisa menangis melihat kenyataan ini, itupun kalau mereka masih punya hati nurani.

Kondisi ini berbeda sekali dengan generasi awal pemakai jilbab di sekolah-sekolah negeri. Mereka menjaga akhlak mereka. Ketika mereka hijrah dari busana jahiliyah ke busana yang Islami, maka yang berubah bukan hanya pakaian mereka, bukan hanya tampilan luarnya saja, tetapi juga keimanan, ideology, akidah serta perilakunya. Di bidang akademik juga mereka umumnya berprestasi. Tidak sedikit yang berhasil dengan NEM tinggi dan masuk di perguruan-perguruan tinggi negeri favorit. Bagi mahasiswi, lulus dengan predicat cloumlude. Perubahan pada diri mereka adalah perubahan yang kaffah (menyeluruh), perubahan revolusioner. Perubahan yang pada gilirannya berikutnya membawa juga ke tengah-tengah masyarakat mereka. Inilah yang menjadikan mereka berbeda. Semoga Allah meridhoi para aktivis yang dahulu, sekarang dan pada masa-masa mendatang, tetap teguh memperjuangkan dan memasyarakatkan jilbab serta nilai-nilai yang dibawa jilbab itu. Menjadikan masyarakat menjadi mengenal, memahami, menyayangi Islam dan menerapkan dalam kehidupan. Wallahu ‘alam bish showab.



Tempointeraktif.com - Iptek

Syariah