“Ada dua perkara yang pasti.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah dua perkara yang pasti itu?” Beliau bersabda, “Siapa yang mati dengan menyekutukan Allah dengan sesuatu niscaya ia masuk neraka, dan siapa yang mati dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu niscaya ia masuk surga.” (HR Muslim).
Islam tidak dapat berdiri tanpa rukun-rukun. Jika Islam tak dapat berdiri tanpa rukun-rukun, maka Islam dan rukun-rukunnya yang empat tak dapat berdiri tanpa dua syahadat, bahkan ia tak ada sama sekali. Karena dua syahadat bagi Islam secara keseluruhan adalah seperti roh bagi tubuh. Sebagaimana setiap atom dari atom-atom tubuh tak dapat hidup kecuali dengan roh, demikian pula syahadat laa ilaaha illallah, Muhammadur-Rasulullah adalah kehidupan bagi semua elemen dari elemen-elemen Islam. Sehingga amal apapun dari amal-amal Islam yang tak tumbuh dari pokok ini akan dilihat sebagai sesuatu yang mati dan dalam lingkungan Allah ia seperti tak ada. Oleh karena itu, segala amal perbuatan orang kafir tak memiliki nilai di hadapan Allah Swt, meskipun perbuatan mereka itu baik, karena perbuatan mereka itu mati.1
Dua syahadat ini tak terpisah satu sama lain. Syahadat ”tidak ada tuhan selain Allah” pelengkapnya adalah syahadat ”bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Karena syahadat laa ilaaha illallah seperti akan kita lihat, menuntut perilaku tertentu, dan makna-makna tertentu. Ia juga mempunyai hak-hak dan pemiliknya mendapatkan kewajiban-kewajiban, sebagaimana pemiliknya juga akan mendapatkan balasannya, sementara orang yang meninggalkan akan mendapatkan siksanya. Semua itu tak diketahui kecuali dengan perantaraan Rasulullah saw. yang telah ada dalil-dalil yang shahih, baik dalil rasional maupun tekstual bahwa beliau adalah utusan Allah dengan sebenarnya.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya.2 Batasan Islam sebagai ”agama yang diturunkan oleh Allah SWT” telah memproteksi agama yang tidak diturunkan oleh Allah SWT. Ini meliputi agama apapun yang tidak diturunkan oleh Allah SWT, baik Hindu, Budha, Konghucu, Sintoisme ataupun yang lain. Sedangkan batasan ”kepada Nabi Muhammad saw.” telah memproteksi agama lain selain agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., baik agama yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa maupun yang lain, apakah Kristen, Yahudi maupun agama-agama Nabi dan Rasul yang lain. Mengenai batasan ”yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya”. Mengenai batasan ”yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya” merupakan deskripsi yang komprehensif meliputi seluruh aspek, mulai daru urusan dunia sampai akhirat, baik yang menyangkut dosa, pahala, surga, neraka maupun akidah, ibadah, ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya. Bisa dikatakan, Islam adalah agama yang sempurna karena meliputi semua aspek kehidupan.
Menuntut ilmu agama, khususnya ilmu tentang apa-apa yang jadi kewajiban sebagai hamba Allah adalah fardhu ’ain. Setiap orang harus mengetahui kewajiban-kewajibannya dan aturan/hukum-hukum dalam Islam, sehingga ilmu tentang itu semua hukumnya adalah fardhu ’ain. Sebab tanpa mengetahui ilmunya, maka manusia tidak bisa melaksanakan ajaran dan kewajiban-kewajibannya dengan benar.3 Pada dasarnya setiap muslim dituntut agar dirinya menghindari kebengkokan dalam beragama. Oleh karena itu pada dasarnya setiap muslim wajib mengetahui Islam yang benar dan yang tidak benar. Sebagaimana setiap orang mesti tahu mana duit yang laku dan mana yang tidak laku. Di sinilah pentingnya membekali akal dengan ilmu yang benar. Dan ilmu yang benar itu sumbernya bukan dari otak manusia semata, namun dari wahyu Allah, dalam Islam berupa Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw.
Pangkal utama kesesatan adalah karena akal tidak tunduk pada wahyu, akal tidak dibekali ilmu yang benar, dan akal tidak mengikuti penafsiran yang benar, yaitu penafsiran yang disampaikan oleh Nabi saw atau sahabat-sahabatnya. Faktor-faktor itu masih pula diliputi dengan hawa nafsu dan aneka kepentingan, sehingga semakin jauh dari kebenaran.i4. Kebebasan berintepretasi tentang ajaran agama ( baca agama Islam), mengibatkan kesalahan dalam memahami ajaran Islam. Dan hal inilah yang menjadi pangkal munculnya aliran dan kepercayaan yang menyimpang dari ajaran Islam, yang sedang populer dengan istilah Aliran Sesat.
Permasalahannya adalah mengapa aliran dan pemahaman tentang Islam yang keliru justru banyak bermunculan di era modern ini dan bisa eksis/tahan lama berkembang di masyarakat? Nampaknya, selain faktor utama sebagaimana yang disebutkan diatas, adanya sistem yang memang menopang, melindungi serta menumbuhsuburkan keberadaan aliran-aliran dan paham sempalan tersebut. Sehingga seolah-olah mereka tetap bisa bertahan dengan nyaman. Sebuah sistem yang menghendaki adanya kebebasan beriakidah (Freedom of Religion), yakni demkokrasi.5 Konsep ini mengatakan bahwa seorang individu berhak untuk menyakini apa saja yang ia kehendaki. Dia bisa berpindah keyakinan sesuai dengan keinginannya. Bahkan bukan untuk murtad atas dirinya sendiri, memurtadkan orang lain juga diperbolehkan. Rekan-rekan yang selaras dengan Nurcholish (yang terkenal dengan ide Pluralismenya) – sekitar 8 orang – beramai-ramai mengabdi kepada lembaga penginjilan, diantaranya mencari sesuap nasi ke Sekolah Tinggi Teologi (alias penginjilan, pen) Apostolos yang diketuai orang Murtad, Pendeta Dr. KAM Jusuf Roni, di Jakarta. Terserahlah itu hak mereka, dan memang di negeri yang pakai aturan Demokrasi ini memang ada hak murtad. 6
Penjelasan yang lebih relevan dengan keberadaan aliran sesat yang hangat dibicarakan (aliran sesat dalam Islam), ternyata dalam demokrasi itu sendiri individu berhak untuk mengatur kehendaknya dan menikmati kebebasannya, asalkan tidak menjelek-jelekkan akidah orang lain, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Seseorang berhak beribadah menurut agama manapun. Ia juga berhak mengingkari agama-agama dan mazhab-mazhab yang sesuai dengan yang diperbolehkan oleh undang-undang dan adat di tempat ia tinggal. Bahkan tidak dikehendaki adanya fatwa dari para ulama mengenai benar atau salah dalam akidah dan ibadah. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa.7
Derivasi dari demokrasi adalah pluralisme. Karena pada kenyataannya pluralisme itu muncul karena atas restu demokrasi dengan slogan freedom of relegionnya. Dalam kamus bahasa Inggris pluralisme mempunyai tiga pengertian. Pertama,pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara kebersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelpompok tersebut.8 Ketiga pengertian tersebut bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.9
Diantara faktor yang mendorong munculnya teori/gagasan pluralisme agama adalah berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa (nation-state), kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini dikenal dengan ”globalisasi”, yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad.10 Proses ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenal ”liberalisme” yang menerompetkan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan dan pluralisme. Mazhab ini, lewat pengalamannya yang pahit dalam menghadapi keseweng-wenangan gereja dan kezaliman para pembesarnya, telah berhasil mendapat dukungan gemilang dari mayoritas masyarakat Eropa yang selama ini tertindas dan terzalimi. Liberalisme kemudian menjadi ikon dan simbol setiap pergerakan sosio-politis dalam menentang segala bentuk kezaliman, hingga muncul istilah yang disebut ”demokrasi”. Proses liberalisasi ini kemudian tidak hanya terbatas dengan garis-garis geografis terkungkung di Eropa Barat dan Amerika Utara saja, melainkan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi sebuah fenomena global, terutama sejak paruh kedua abad ke 20 yang lalu.
Penyebaran paham pluralisme agama di tengah masyarakat muslim dapat dilihat sebagai bagian dari upaya Barat mengglobalkan nilai-nilainya dan meneguhkan hegemoninya, atau upaya misionaris Kristen untuk melemahkan keyakinan kaum muslim. Pluralisme -- sebagaimana sekulerisme -- adalah sejenis ”senjata pemusnah massal” terhadap keyakinan fundamental agama-agama. Kristen sudah mengalami hal itu. Ia lumpuh. Karena itu, meskipun pada Kongress Misionaris Internasional di Jerussalem, 1928, menetapkan bahwa sekulerisme ”dipandang sebagai musuh besar Geraja dan pesan-pesannya”11 tetapi pada dekade-dekade berikutnya ada banyak kalangan Kristen yang mempromosikan ”sekulerisme” dalam menjalankan misinya kepada Muslim. Dalam soal penyebaran pluralisme, Barat dan misionarisnya Kristen-Yahudi dapat menemukan titik temu mencegah ”fanatisme” kaum Muslim dalam memegang keyakinan agamanya.
Itulah gambaran dari tentang pluralisme di dalam masyarakat kapitalis sekuler dengan sistem kufurnya (demokrasi) berserta agenda-agenda jahatnya. Jika demikian, siapa yang paling bertanggung jawab terhadap keberadaannya. Negara dengan sistem sekulerkah? Jawaban yang paling relevan adalah diberlakukannya syariat dan ditegakkannya kekhilafahan (negara yang paling sesuai dengan syariat). Berdirinya negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) merupakan salah satu tuntutan dalam agama ini (Islam).12 Karena ditangan sang Khalifah (Kepala Negara Khilfah), dia akan melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang establish, dan ijma’ generasi salaf. Jika muncul pembuat bid’ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan dan ummat terlindungi dari usaha penyesatan.13
Ketika kita sudah tahu, bagaimana sikap kita terhadap demokrasi dan pluralisme. Apakah kita menerapkan layaknya masyarakat Barat (Kristen)? Tapi masalahnya dalam Islam tidak ada permasalahan yang pelik seperti yang dialami mereka, yang mengharuskan pemeluknya mengkaburkan, mencampakkan atau bahkan membuang jauh-jauh agamanya dalam sistem kehidupan. Terutama bagaimana implikasinya dengan kasus aliran-aliran sesat di Indonesia. Wallahu ’alam.
1Said Hawwa dalam bukunya Al Islam.Gema Insani Press. Jakarta, cetakan I, hal. 34.
2Samih ‘Athuf az-Zayn dalam Islam Politik dan Spiritual (Hafidz Abdurrhman).WADI press.Jakarta.cetakan I, hal. 1.
3 Hartono Ahmad Jaiz dalam bukunya Aliran dan Paham Sesat di Indonesia.Pustaka Al Kautsar.Jakarta.cetakan 12. hal.6.
4 Ibid, hal 24
5Hafizh Shalih MA dalam bukunya Mengadili Demokrasi.Pustaka Tharriqul Izzah.Jakarta.cetakan III.hal.51.
6 Opcid.hal. 173.
7 Jalaluddin Rakhmat dalam Islam dan Pluralisme.Serambi.Jakarta.cetakan II.hal 34.
8 Lihat “Pluralism” dalam The Shorter Oford English Dictionary on Historical Principle, revised and edited by C.T.Onions (Oxford: The Clarendon Press, [1933], 3rded.1952); Chamber English Dictionary, edited byCatherine Schwarz et al. (Cambridge: Chambers [1901]reprinted 1988); Websters Third New International Dictionar,(Chicago: Encyclopedia Britanica, Inc., [1909] 1966); Scruton, Roger, A Dictionary of Political Thought (London: Macmillan, [1982] reprinted 1984).
9 Dr. Anis Malik Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama.Perspektif.Jakarta.cetakan I 2005.hal.12.
10 Ibid.hal.41
11 Tomas Shivute dalam Adian Husaini. Wajah Peradaban Barat.Gema Insani Press.Jakarta.cetakan 1,2005.hal.346.
12 Abu ‘Abul Fattah ‘Ali Belhaj dalam bukunya Menegakkan Kembali Negara Khilafah Kewajiban Terbesar dalam Islam.Pustaka Thariqul Izzah.Bogor.cetakan I, 2001.hal.21.
13 Imam Al Mawardi dalam bukunya Al Ahkam As Sulthaniyyah (Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam), Darul Falah, Jakarta, 2000 hal.24.